Tuesday, February 28, 2017

Kelilingi Kebun Raya Bogor dengan Berlari

Sejarah mencatat bahwa Kebun Raya Bogor resmi didirikan oleh Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen pada 18 Mei 1817. Pendiriannya diawali dengan menancapkan ayunan cangkul pertama sebagai pertanda pembangunan kebun yang dinamai ’s Lands Plantentuin te Buitenzorg.

Seorang profesor kimia dan botani bernama Caspar Georg Karl Reinwardt ditunjuk menjadi pengarah pada lima tahun pertama. Ia memberdayakan lahan seluas sekitar 47 hektar yang letaknya di sekitar Istana Bogor.

Apa yang dirintis van der Capellen dan Reinwardt pun masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Kebun Raya Bogor yang tahun ini berusia 200 tahun pun tetap terjaga kelestariannya sebagai tempat penelitian dan pengembangan hortikultura dan tentu saja tempat wisata.

Kebun Raya dan Kota Bogor pun saling mengidentikkan diri. Keduanya seperti tak terpisahkan dan saling menghidupi. Sebab Kebun Raya adalah paru-paru kota yang begitu baik hati menyediakan udara bersih bagi warga Bogor yang melestarikannya.

[caption id="attachment_1228" align="aligncenter" width="800"] Wali Kota Bogor Bima Arya dan Komunitas Bogor Runners berlari bersama dalam sebuah ajang lari di Bogor beberapa waktu lalu. (Foto: hallobogor.com)[/caption]

Momentum hari jadi Kebun Raya Bogor ternyata akan diperingati dengan cara yang luar biasa. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pemerintah Kota Bogor akan menggelar lomba lari ultramarathon bertajuk Kebun Raya Bogor 200K. Tentu saja, mereka menggandeng race management yang sudah terbiasa menggelar lomba-lomba lari.

Informasi yang kami dapatkan dari situs resmi lomba krb200.com disebutkan bahwa KRB 200K akan dilaksanakan pada 20-21 Mei 2017 dan berlokasi di Kebun Raya Bogor. Tentu saja ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pelari mengingat mereka akan berputar-putar di area yang sama.

Selain nomor lomba 200K, panitia juga mengadakan lomba dengan jarak 100K, 50K, 21K, 10K, dan yang terpendek adalah 5K. Bisa dibayangkan keriuhan yang akan terjadi saat event ini berlangsung nantinya.

KRB 200K tidak hanya ditujukan untuk para pelari Indonesia. Jika melihat biaya pendaftaran yang tertera di situs resmi maka panitia pun membidik peserta dari mancanegara. Sebab selain pendaftaran dalam mata uang rupiah juga dituliskan dalam mata uang dolar Amerika Serikat.

Runners, Kebun Raya Bogor menanti kalian!

Johanes Indra | traveltoday

Monday, February 27, 2017

7 Spot Wajib Kunjung di Amsterdam

Amsterdam merupakan salah satu kota tujuan wisata utama di Eropa. Hampir semua paket liburan ke Eropa yang dipasarkan oleh perusahaan tour & travel di Indonesia memasukkan kota ini sebagai salah satu tujuan persinggahannya. Kota yang namanya diambil dari sebuah bendungan di sungai Amstel yaitu Amstelredamme ini memang sangat menarik untuk dikunjungi. Banyak destinasi wisata yang dapat menjadi pilihan. Redaksi traveltoday memilih tujuh destinasi wisata yang menarik untuk Anda kunjungi:

  1. Museumplein


[caption id="attachment_1217" align="aligncenter" width="640"] Museumplein menjadi spot sahib kunjung pertama di Amsterdam. (Foto: amsterdamlayovers.com)[/caption]

Untuk posisi pertama kami pilih Museumplein atau biasa disebut juga Museum Square. Museumplein adalah sebuah area terbuka yang sangat luas seperti area Kota Tua di Jakarta yang di sekitarnya banyak berdiri bangunan museum bersejarah dengan bentuk bangunan yang indah. Diantaranya Museum Van Gogh, Museum Stedleijk, Rijksmuseum, Diamond Museum (Museum Berlian), dan Gedung Royal Concert Hall (Royal Concert Gebouw).

Untuk pencinta museum dan sejarah, tempat ini menjadi surga pariwisata yang wajib dikunjungi. Sejak dulu, area Musiumplein yang sangat luas ini selalu menjadi tempat berkumpul, bukan hanya warga lokal namun juga wisatawan mancanegara. Seringkali area ini dipakai untuk acara-acara besar yang melibatkan ribuan warga di Amsterdam. Baik untuk festival, perayaan maupun demontrasi massa. Termasuk juga untuk nonton bareng pertandingan sepak bola. Maka jika anda liburan ke Amsterdam, catatlah Museumplain di bagian pertama.

  1. Rijksmuseum


[caption id="attachment_1218" align="aligncenter" width="640"] Rijkmuseum masih terawat dengan baik. (Foto: visionoftravel.org)[/caption]

Di posisi kedua kami pilih Rijksmuseum. Museum nasional Belanda ini terletak di Museumplein, di bagian timur atau bagian selatan pusat kota Amsterdam. Museum ini dirancang oleh Pierre Cuypers dan pertama kali dibuka pada tahun 1885.

Rijkmuseum menyimpan puluhan ribu koleksi sejarah dan artefak seni yang berasal dari tahun 1200-an hingga kini. Museum ini sangat terkenal di Belanda dan menjadi salah satu destinasi yang wajib dikunjungi di Amsterdam. Menurut data tahun 2013, Rijkmuseum dikunjungi oleh lebih dari 2,2 juta wisawatan mancanegara.

Jika anda mengunjungi museum ini, jangan lewatkan untuk berfoto di depan tulisan “I Amsterdam” yang terletak di depan museum dan telah menjadi ikon kota Amsterdam.

  1. Dam Square


[caption id="attachment_1219" align="aligncenter" width="647"] Dam Square menjadi ruang publik yang sangat terkenal di Amsterdam. (Foto: wallgot.com)[/caption]

Selanjutnya kita menuju ke De Dam atau Dam Square yang merupakan alun-alun kota Amsterdam. Alun-alun ini terletak di pusat kota dan dikelilingi oleh banyak bangunan bersejarah yang sangat terkenal seperti Istana Royal Palace of Amsterdam, Gereja Nieuwe Kerk yang indah, Museum Madame Tussaud, pabrik pengasahan berlian, dan juga banyak shopping center yang menjual brand-brand ternama.

Berjalan-jalan di Dam Square seperti menikmati kejayaan zaman dahulu dengan bangunan-bangunan berarsitektur indah namun berisi banyak brand produk kekinian. Sambil menikmati dan berfoto-foto dengan latar gedung-gedung tua tersebut, traveller bisa juga berbelanja di banyak gerai busana dan juga toko-toko suvenir. Oleh karena itulah tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan. Apalagi di sore hari menjelang malam, Dam Square selalu penuh oleh wisatawan dari seluruh dunia yang berkunjung ke Amsterdam.

  1. Kanal Amsterdam


[caption id="attachment_1220" align="aligncenter" width="640"] Sejumlah kanal di Amsterdam mengundang minat untuk dijelajahi. (Foto: whereisyvette.wordpress)[/caption]

Setelah puas menikmati museum dan pusat kota Amsterdam, maka sewalah perahu atau beli paket tour Kanal Cruise untuk menyusuri kanal-kanal di kota ini. Kota yang terletak di bawah laut ini memang sangat terkenal akan keindahan kanal-kanalnya.

Ada tiga kanal utama di kota Amsterdam, yaitu Herengracht, Prinsengracht, dan Keizersgracht. Kanal-kanal tersebut membentuk sabuk konsentris di sekitar kota yang dikenal sebagai Grachtengordel. Kanal-kanal yang memiliki panjang hingga 100 kilometer ini merupakan simbol kota Amsterdam serta memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi. Pada tahun 2010, World Heritage Committee (Komite Warisan Dunia) memutuskan untuk memasukkan daerah cincin kanal abad ke-17 di Amsterdam ini ke dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO.

Ada banyak pilihan tur kanal di Amsterdam. Namun yang paling menarik menurut travel today adalah Golden Bend, yaitu tur kanal yang melintasi Leidsestraat sampai Vijzelstraat. Kita akan diajak untuk menikmati pemandangan bangunan-bangunan tua di sepanjang kanal yang paling indah dan megah di sana. Di ujung kanal ada satu bangunan berbentuk perahu yang berlogo VOC, yang dulu mempunyai sejarah yang sangat panjang di Indonesia.

  1. Anne Frank’s House


[caption id="attachment_1221" align="aligncenter" width="647"] Anne Frank's House tetap menjadi daya tarik untuk dikunjungi. Kisah kemanusiaan tertinggal di sana. (Foto: eurocheap.com)[/caption]

Anne Frank’s House atau Anne Frank Huise adalah bangunan tempat persembunyian Anne Frank dan keluarganya yang sekarang dijadikan museum. Anne Frank adalah seorang anak perempuan biasa yang lahir tahun 1929 keturunan Jerman-Yahudi. Anne Frank dan keluarga hidup dalam persembunyian pada masa perang dunia kedua. Ketika itu Adolf Hitler berusaha menghapuskan seluruh bangsa Yahudi dan keturunannya dari muka bumi.

Selama lebih dari dua tahun dalam persembunyiannya, Anne Frank menulis buku harian yang menceritakan kehidupan sehari-harinya saat berada dalam persembunyian. Keluarga Anne Frank hidup di rumah tersebut sejak tahun 1922 sampai 1944. Anne Frank dan keluarganya akhirnya ditemukan oleh NAZI pada tahun 1944 dan dikirim ke kamp konsentrasi NAZI sampai menemui ajalnya.

Museum Anne Frank’s House yang menjadi lokasi shooting film The Fault in Our Star ini, terletak di pusat kota Amsterdam. Museum ini benar-benar menceritakan dan menjadi bukti kekejaman NAZI pada masa itu.

Buku harian Anne Frank yang asli beserta beberapa buku catatan lain dipajang sebagai bagian dari pameran tetap di Anne Frank House ini. Koleksi dan pameran temporer memfokuskan diri pada penyiksaan terhadap orang-orang beragama Yahudi pada masa perang, fasisme kontemporer, rasisme dan anti-Semitisme. Dalam museum ini anda akan melihat sendiri bagaimana Anne, keluarganya serta orang-orang lain hidup bersembunyi dari pendudukan Jerman.

Berkunjung ke museum ini benar-benar merupakan pengalaman yang mengharukan. Museum ini telah menyentuh hati jutaan wisatawan dari seluruh dunia. Jangan lewatkan untuk berkunjung ke Anne Frank’s House dan rasakanlah bagaimana rasanya hidup dalam persembunyian pada masa itu.

  1. Pasar Bunga Terapung


[caption id="attachment_1222" align="aligncenter" width="640"] Bloemenmarkt atau pasar bunga terapung melekatkan identitas Belanda dan bunga-bunganya. (Foto: prompguide.com)[/caption]

Buat pencinta bunga, pasar ini adalah surganya. Pasar Bunga Terapung dalam bahasa Belanda disebut Bloemenmarkt namun lebih terkenal dengan nama Floating Flower Market, adalah pasar bunga terapung yang terdapat di Amsterdam. Pasar bunga terapung ini menempati kios-kios transparan yang terapung di sepanjang tepi Kanal Singel. Pasar yang telah ada sejak tahun 1862 ini telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO.

Di pasar bunga yang di klaim sebagai pasar bunga terapung satu-satunya di dunia ini, traveller dapat menjumpai berbagai jenis bunga dari seluruh dunia. Termasuk bunga khas Belanda yaitu bunga tulip dalam berbagai warna.

Pasar bunga ini tidak hanya menjual bunga potong namun juga ada dalam bentuk buket yang sudah dibentuk dan diberi pita. Tapi juga bunga-bunga yang masih berada di dalam pot yang sudah siap potong maupun yang baru ditanam. Dan juga benih-benih bunga yang siap di ekspor dan dijadikan oleh-oleh khas Balanda. Tentu saja pasar bunga ini menjadi tempat berfoto yang sangat menarik dan instagramable.

  1. De Gooyer Windmill


[caption id="attachment_1223" align="aligncenter" width="640"] Kincir angin De Gooyer tetap gaga berdiri sebagai penjaga identitas Amsterdam. (Foto: panoramio.com)[/caption]

Berkunjung ke Amsterdam tidaklah pas tanpa mengunjungi ikon Negeri Belanda yaitu kincir angin. Setiap wisatawan yang berkunjung ke Amsterdam pasti menyempatkan diri untuk berfoto dengan latar belakang kincir angin. Untuk itu traveltoday mengajak wisawatan mengunjungi kincir angin dari kayu yang paling tinggi dan paling tua di kota Amsterdam, yaitu De Gooyer Windmill.

De Gooyer Windmill adalah salah satu dari delapan kincir angin kuno yang masih tersisa di Amsterdam. Kincir Angin ini menjadi yang paling terkenal dibandingkan dengan tujuh kincir angin lainnya. Karena letaknya yang berdekatan dengan Museum Maritime dan kawasan kota bersejarah Amsterdam. Juga berdampingan dengan tempat pengolahan bir (brewery) yang terkenal. Kita bisa menikmati bir langsung dari pabriknya dan bisa melihat secara langsung proses pengolahannya.

Jangan lewatkan berkunjung dan berfoto di depan De Gooyer Windmill sambil menikmati segelas bir. Menarik, bukan? Tunggu apa lagi?

Zahrudin Haris | traveltoday

Sekayu, Kota Pendidikan dan Pariwisata Olahraga

Minggu lalu, saya diajak teman lama untuk mengunjungi Sekayu. Kota yang berjarak tiga jam perjalanan darat dari Palembang ini merupakan ibukota Kabupaten Musi Banyuasin yang berada di Propinsi Sumatera Selatan.

Menurut wikipedia, Sekayu memiliki luas 701,60 kilometer persegi dan dihuni oleh 222.263 jiwa. Kota ini berada di tepi Sungai Musi bagian hulu, sedangkan Palembang berada di tepi bagian hilir, lebih dekat ke muara. Maka dari Palembang ke Sekayu juga bisa ditempuh lewat jalur sungai, namun karena sungai yang berkelok-kelok, menyebabkan perjalanan jauh lebih lama. Menurut informasi yang saya dapatkan dari pengemudi kapal motor, kalau berangkat sore dari Palembang, maka akan tiba pagi hari di Sekayu. Tergantung kecepatan kapal dan kapal apa yang digunakan.

Saya pernah mengunjungi kota ini beberapa kali dan tahun 2004 adalah kunjungan terakhir saya. Sudah lumayan lama. Waktu itu kota ini sedang mempersiapkan diri untuk menjadi salah satu kota penyangga penyelenggaraan Pekan Olaharaga Nasional ke-XVI. Kota penyelenggara utamanya adalah Palembang. Ada beberapa cabang olahraga diadakan di kota ini, seperti renang, berkuda, balap motor, terbang layang, dan beberapa cabang olahraga lainnya. Kota ini tampak ramai oleh persiapan tersebut. Sarana olahraga standar nasional dan internasional banyak dibangun di kota ini. Seperti kolam renang standard olimpiade, stable berkuda, sirkuit motor, GOR bulutangkis, stadion sepak bola, dan arena terbang layang.

Setelah hampir tiga belas tahun ternyata tidak banyak yang berubah. Kolam renang standar olimpiade yang dulu dibangun dan digunakan buat penyelenggaraan PON, kini tampak sepi dengan banyak ruangan kosong. Begitu juga stables berkuda yang dulu tampak megah, kini tak digunakan lagi dengan semestinya. Malah beralih fungsi buat acara-acara pertemuan. Stadion sepak bola dan GOR bulutangkis pun setali tiga uang.

Wisma Atlet yang dulu dibangun buat tempat penampungan atlet, sekarang berubah fungsi menjadi penginapan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Begitu juga gedung yang dibangun di pusat kota untuk pusat perkantoran Petro Muba dan kantor-kantor perusahaan migas tampak banyak yang kosong. Namun ada juga gedung yang baru dibangun dan tampak megah yaitu Gedung Serba Guna Sekayu dan satu lagi yang baru dibangun yaitu Water Front yang terletak di pinggir Sungai Musi untuk sarana rekreasi keluarga yang tampak baru namun kios-kiosnya juga kosong tanpa penghuni. Mungkin belum terisi.

[caption id="attachment_1212" align="aligncenter" width="640"] Gedung olahraga ini bisa dibenahi menjadi lokasi wisata olahraga seperti Museum Bulutangkis. Bukan tidak mungkin sebuah museum bulutangkis hadir di Sekayu, Musi Banyuasin. (Foto: traveltoday)[/caption]

Setelah diajak keliling kota yang cuma butuh waktu satu dua jam saja, saya menjadi tertarik dengan kota ini. Dengan semua sarana olahraga yang dimiliki, banyak hal yang bisa dilakukan di Sekayu. Tentu saja untuk bidang olahraga. Terus terang saya tidak banyak tahu tentang kegiatan apa saja yang telah diselenggarakan kota ini untuk mengisi semua sarana olahraga yang mereka miliki. Namun menurut pendapat saya, kota ini sangat bisa dikembangkan menjadi kota pendidikan dan pariwisata khusus olahraga.

Ada banyak faktor yang menjadi keunggulan kota ini dibandingkan dengan kota-kota derah tingkat dua lainnya. Pusat Kota Sekayu memiliki infrastruktur yang sudah baik dan tertata rapi. Jalan utama kota ini tampak luas dan terdapat trotoar untuk pejalan kaki. Semua fasilitas olahraga dan fasilitas utama lainnya yang dimiliki Sekayu berada di pinggir jalan utama ini. Kendaraan yang berlalu-lalang juga tidak terlalu ramai, sehingga belum terjadi polusi udara yang berlebihan seperti kota-kota lainnya.

Di jalan utama Sekayu bisa diadakan perlombaan jalan santai, sepedai santai, fun run, maupun jalan cepat setiap minggunya. Kemudian kolam renang bisa diisi dengan perlombaan renang tingkat daerah, nasional dan internasional. Stadion sepak bola dan futsal juga bisa terus diisi dengan banyak pertandingan dari tingkat SD, SMP, SMA, dan universitas sampai dengan usia dewasa yang melibatkan klub-klub futsal dan sepak bola ternama. Begitu juga dengan GOR bulutangkis dan tenis meja, sirkuit, dan arena terbang layang.

Sedangkan gedung-gedung yang kosong bisa dimanfaatkan untuk mendirikan beberapa museum olahraga dan juga sekolah-sekolah olahraga. Seperti Museum Tinju Indonesia, Museum Sepak Bola, Museum Bulutangkis dan juga museum olahraga lainnya yang tentu saja cabang tersebut sudah menelurkan banyak juara dunia. Layaknya museum-museum olahraga yang dimiliki oleh sejumlah klub terkenal seperti Barcelona, Real Madrid, AC Milan atau museum sepak bola di Zurich, namun dalam versi yang lebih kecil. Di dalam museum bisa ditempatkan foto-foto, memorabilia, video pertandingan dan juga beberapa alat olahraga yang bisa digunakan buat pengunjung. Sehingga dapat menginspirasi mereka untuk menjadi atlet-atlet olahraga yang pernah berjaya membela bangsa.

Sekolah olahraga yang dibangun harus sesuai dengan standar Internasional dan mempunyai kurikulum dan target yang jelas. Seperti sekolah renang, sekolah bulutangkis, sasana tinju, sekolah sepak bola dan sekolah olahraga lainnya, yang memang sarananya sudah dimiliki oleh Kota Sekayu. Sehingga semua sarana olahraga tersebut terus dapat dimaksimalkan penggunannya sesuai dengan fungsinya dan tentu saja jadi terkelola dengan baik. Bukan hanya itu, karena banyaknya pendatang yang masuk ke Sekayu, tentu saja industri perhotelan, transportasi, restoran, dan pedagang kaki lima, kerajinan rakyat usaha kecil dan menengah juga industri hiburan akan ikut menggeliat dan berkembang di kota ini.

Dengan berdirinya sekolah-sekolah olahraga, museum olahraga dan juga banyaknya event olahraga yang diselenggarakan secara berkala, terus menerus dan kontinyu, maka lambat laun kota ini akan segera dikenal sebagai kota pusat Pendidikan, penyelenggaraan, dan pusat pariwisata olahraga di Indonesia. Tentu saja harus dipromosikan secara massif dan berkesinambungan, yang melibatkan orang-orang yang terkenal di dunia olahraga. Semoga saja mimpi ini bisa segera menjadi nyata.

Salam dari Sekayu, Musi Banyuasin.

Zahrudin Haris

Surabaya Ingin Pasar Tradisional untuk Wisata

Banyak yang belum menyadari bahwa pasar tradisional bisa menjadi potensi wisata. Kendati demikian, masih ada yang peduli pada hal tersebut. Salah satunya adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Tri Rismaharini memang dikenal sebagai sosok yang memiliki gagasan-gagasan maju yang kerap dianggap kontroversi. Tetapi demi kemajuan warganya, ia teguh pada prinsip yang dimilikinya.

Risma, begitu ia biasa dipanggil, memiliki cita-cita menjadikan pasar tradisonal menjadi lebih baik. Jauh dari predikat sumpek, becek, dan kumuh. Sehingga akan menjadi pilihan warga untuk belanja daripada di pasar modern.

"Saya berharap secepatnya pembangunan ini, karena kalau saya turun (dari Wali Kota Surabaya) yang kedua ini, saya ingin pasar Surabaya bagus semuanya," kata Risma, Sabtu (25/2/2017) seperti dilansir dari detikcom.

Risma juga mengambilalih kebijakan PD Pasar Surya sebagai BUMD dengan memperbaiki pasar tradisional. Ia memerintahkan pada lurah untuk mendokumentasikan kondisi pasar tradisional di wilayahnya masing-masing.

Secara terbuka Risma berencana untuk memperbaiki pasar dengan menarik kewenangan PD Pasar Surya. Setelah perbaikan berhasil dilakukan, maka ia akan mengembalikannya lagi kepada BUMD tersebut.

Risma juga memiliki parameter mengenai pasar yang memadai. Menurutnya, standart pasar yang bagus tidak harus mewah, tapi pasar yang bagus adalah pasar yang tidak hanya sekadar menjadi tempat jualan, namun juga bisa dijadikan sebagai tempat wisata, sehingga orang senang lagi belanja di pasar.

"Indikatornya sederhana, jika anak-anak kecil, remaja dan anak muda mau ke pasar tradisional, maka itu sudah berhasil, itu kuncinya karena mereka juga sudah mengenal minimarket," lanjut Risma.

Selain itu, pasar yang bagus itu pasar yang tidak becek, gampang dicari dan tempat berjualannya sudah ada kategori masing-masing, seperti ini tempatnya daging-daging, tempatnya sayur-sayuran dan bahan-bahan lainnya.

Sebagai langkah awal, Risma mengutus timnya untuk melihat secara langsung pengelolaan pasar tradisional yang terintegrasi dengan wisata di Denpasar, Bali. Sesuatu yang patut diapresiasi mengingat Bali telah menjadi salah satu magnet pariwisata Indonesia.

Keinginan Risma untuk menjadikan pasar tradisional lebih nyaman juga telah dilakukan oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Bahkan, Kang Emil telah menyelesaikan pembangunan pasar tradisional yang tidak saja berkesan modern tetapi higienis dan hemat energi.

Johanes Indra | traveltoday, dari berbagai sumber

 

Friday, February 24, 2017

Ngopi dan Merendam Kaki di Bandung

Judul di atas mungkin tak biasa. Atau kalaupun ada cofee lovers yang pernah melakukannya, mungkin bukan di kedai kopi yang biasa dikunjunginya. Adakah yang pernah singgah di One Eighty Coffee, Bandung?

Kedai kopi ini memang menawarkan sensasi yang tak biasa. Tentu saja kopi menjadi andalan mereka untuk menarik pengunjung. Tetapi Anda bisa ngopi sambil merendam kaki.

One Eighty Coffee menyediakan sejumlah meja dan kursi yang sengaja diletakkan di dalam sebuah kolam yang berisi air. Ketinggian air yang hanya sebatas mata kaki orang dewasa tak membuat pengunjung yang memilih spot itu untuk bersusah payah menuju kursi yang dipilih.

Idenya boleh juga ya. Bisa saja yang berkunjung ke sana adalah mereka yang baru saja sampai di Bandung setelah melalui perjalanan jauh yang melelahkan. Sehingga menyeruput kopi atau minuman lain sambil merendam kaki akan memberikan efek rileks.

Selain meja-kursi yang berada di dalam kolam air ada juga lokasi yang konvensional. Anda tak perlu khawatir jika memang tak hendak menikmati sensasi ini. Apalagi, seringkali pengunjung harus antre untuk bisa duduk di tempat yang unik tadi.

One Eighty Coffee terletak di Jl. Ganesha No. 3, Bandung. Letaknya berseberangan dengan Rumah Sakit Boromeus dan dekat dengan Kampus Institut Teknologi Bandung.

Semoga Anda datang di waktu yang tepat ya. Jangan lupa ambil beberapa foto di kedai kopi yang instagramable ini. (ji)

Semarang Tantang Para Penggila Durian

Jangan mengaku sebagai penggila buah durian kalau Anda tak datang ke festival tahunan ini. Maka, terimalah tantangan Kota Semarang dalam Festival Durian Semarang 2017 pada 24-26 Februari 2017.

Dinas Pertanian Kota Semarang telah menyiapkan 20 ribu durian berkualitas terbaik untuk menyemarakkan festival yang akan digelar di obyek wisata Goa Kreo, Kecamatan Gunungpati, Semarang.

“Kita mau tetap mengangkat citra Kota Semarang sebagai penghasil buah durian unggul, masyarakat bisa mendapatkan buah durian berkualitas unggul yang nantinya dapat dikembangkan, dan sebagai Ajang Promosi Wisata Agro Kota Semarang,” ujar Kepala Dinas Pertanian Kota Semarang, Rusdiana dalam rilisnya kepada media.

Rusdiana berharap acara tahun ini bisa lebih semarak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi akan dikenalkan juga empat varian durian lokal unggulan yang memiliki cita rasa khas yang nikmat, salah satunya durian tembaga yang tidak kalah dengan varietas durian unggulan lainnya.

"Kami telah berkoordinasi dengan para petani durian yang ada di Semarang, di antaranya di wilayah Mijen dan Gunungpati untuk menyediakan setidaknya 20 ribu durian untuk dihadirkan pada festival durian nantinya," lanjut Rusdiana.

Setiap tahunnya, festival ini selalu dipadati masyarakat yang mencintai buah tropis itu. Pengunjung tidak hanya berasal dari Semarang tetapi juga dari berbagai kota di Jawa Tengah dan dari luar provinsi. Tentu saja, kehadiran mereka akan meningkatkan pariwisata di Semarang.

Siapa berani terima tantangan menggiurkan ini? Semarang memanggil Anda, para pecinta durian lokal. Ayo, lekas ke Semarang!

Johanes Indra | traveltoday

Thursday, February 23, 2017

Kutu Buku Harus ke Sini!

Membaca buku adalah sebuah keasyikan tersendiri. Hobi yang satu ini tak sekadar memberikan wawasan yang luas tapi juga inspirasi. Tetapi, seorang kutu buku akan berbahagia jika ia bisa berkelana ke toko-toko buku independen yang berada di sejumlah negara di Eropa. Apalagi jika mereka bisa mendapatkan buku-buku idaman di toko-toko itu.

Traveltoday memilihkan sejumlah toko buku unik dan bersejarah di Eropa yang patut dikunjungi oleh para pecinta buku:

[caption id="attachment_1175" align="aligncenter" width="602"] Ketidakteraturan yang menyenangkan penggila buku di Acqua Alta, Venezia. Foto: www.venice-italy-veneto.com[/caption]

  1. Aqua Alta di Venezia, Italia


Di Acqua Alta kita akan berdecak kagum. Perahu, gondola, dan kano berfungsi sebagai rak buku. Buku-buku baru dan bekas ada di sana.

Jika kita terlalu mencintai keteraturan, toko buku ini bukan tempat yang cocok untuk dikunjungi. Kesannya memang berantakan, tetapi bagi banyak orang hal itu merupakan ketidakteraturan yang mengasyikkan. Penggila buku adalah petualang, bukan?

 

[caption id="attachment_1176" align="aligncenter" width="597"] Seorang pecinta buku tengah mengamati dan memilih kloekst buku di Shakespeare and Co, Paris. Foto: img02.deviantart.net[/caption]

  1. Shakespeare and Co di Paris, Perancis


Shakespeare and Co menjadi salah satu tujuan wisata budaya bagi banyak orang yang berkungjung ke Paris. Toko ini tidak hanya menarik minta mereka yang gila baca tetapi juga para turis yang ingin jejaknya tercetak di kota yang menjadi salah satu destinasi wisata paling tersohor di Eropa ini.

Toko buku kecil ini letaknya di sisi Sungai Seine, berseberangan dengan Notre Dame dan didirikan oleh orang Amerika pecinta literasi bernama George Whitman pada tahun 1951.

Sejak awal dibuka, Shakespeare and Co telah menjadi tempat bertemunya para penulis terkemuka seperti James Baldwin, Anaïs Nin, Julio Cortázar, Lawrence Durrell, Henry Miller, Richard Wright, Allen Ginsberg, William Burroughs, and William Saroyon. Begitulah yang terceritakan dalam website resmi mereka.

 

[caption id="attachment_1177" align="aligncenter" width="626"] Word on the Water di London menjadi daya pikat baru bagi penggila buku. Foto: www.travelaway.me[/caption]

3. Word on the Water, di tepi Kanal London, Inggris

Paddy Screech mengawali kisah ini di tahun 2011. Setelah ia meninggalkan pekerjaan lamanya, toko buku terapung ini mulai mewarnai area di sekitar Kanal London’s Regent yang berada tak jauh dari Stasiun Paddington.

Perahu ini mungkin Nampak kecil sebagai sebuah toko buku dengan ribuan koleksi. Tetapi, ini tak sekadar toko melainkan menjadi tempat tinggal Screech.

Seperti dilansir dari theguardian.com, Screech mengatakan, “Ini merupakan lambing independensi. Toko buku adalah budaya, dan toko buku independen tidak kepayahan karena banyak orang yang tidak menginginkannya – tentu saja karena mad property market ini.”

 

[caption id="attachment_1178" align="aligncenter" width="596"] Selalu ada cara mengenalkan sastra dan budaya. Cara Tell A Story ini sungguh puny daya. Foto: www.inhabitat.com[/caption]

  1. Tell a Story di Lisbon, Portugal


Konsep Tell A Story ini ringkas dan efektif. Sebuah toko buku di mobil van. Karena itulah ia akan bergerak dan berhenti di sejumlah lokasi yang menjadi perhatian para wisatawan di Lisbon. Tentu saja hal itu bukan tanpa tujuan lho. Utamanya, mereka ingin mengenalkan sastra Portugis dalam bahasa Inggris kepada para turis.

Kadangkala tim Tell A Story juga berkelana ke penjuru Portugal. Tak hanya buku yang mereka jual. Ada pula pulpen dan kartu pos. Harapannya, banyak orang yang akan menuliskan kisah mereka di kartu pos dan mengirimkannya kepada sahabat, keluarga, dan siapapun juga. Just tell a story…..

 

[caption id="attachment_1179" align="aligncenter" width="594"] Mabuk yang tak membuat ambruk. Jadilah Atlantis Books. Foto: Hayley Igarashi, www.goodreads.com[/caption]

  1. Atlantis Books di Santorini, Yunani


Jangan pandang pemabuk dengan sebelah mata! Ini benar. Para pemabuk seringkali menghadirkan ide-ide gila bahkan brilian. Pergilah ke Atlantis Books di Santorini, Yunani.

Seperti yang dikisahkan theguardian.com ada dua orang mahasiswa Oxford yang sedang berlibur di Santorini pada 2004 lalu. Mereka mabuk lalu memutuskan untuk membuka sebuah toko buku yang berhadapan langsung dengan lautan lepas.

Setelah keduanya lulus kuliah niatan itu diwujudkan dengan sejumlah kegilaan lain ala pemabuk. Salah satunya ada tertulis: Anda Bisa ‘Menyewa Seekor Kucing’ Selagi Membaca. Hahaha.

Bagaimana, kutu buku? Apakah wangi kertas dari halaman-halaman buku di toko-toko buku independen yang kami referensikan menggugah kegilaanmu? Semoga.

Johanes Indra | traveltoday - dari berbagai sumber

Wednesday, February 22, 2017

Menakar Kemanusiaan di Museum Apartheid

Kesempatan meliput Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan adalah mimpi saya yang menjadi kenyataan. Menjadi jurnalis olahraga yang berkesempatan meliput Piala Dunia merupakan catatan sejarah tersendiri.

Tetapi, bukan hanya meliput ajang sepakbola sejagat itu yang ingin saya alami. Saya ingin singgahi juga Museum Apartheid di Johannesburg. Sebuah museum yang lengkap memaparkan masa kelam Afrika Selatan.

Sejak kecil saya diajari untuk menolak diskriminasi suku, agama, dan ras. Ajaran itu yang di kemudian hari membawa saya berempati pada korban penindasan rasial di Afrika Selatan. Bahkan, pemain idola pertama saya adalah John Barnes. Dia memang tidak berasal dari Afrika Selatan tetapi  legenda Liverpool itu berkulit hitam.

[caption id="attachment_1164" align="aligncenter" width="709"] suasana dalam Museum Apartheid, foto: hipafrica[/caption]

Museum Apartheid dibuka tahun 2001 dan kemudian diakui sebagai salah satu museum unggulan di dunia pada abad kedua puluh yang berada di jantungnya kisah kekejian politik apartheid.

Kisah berdirinya museum ini unik. Pada tahun 1995 pemerintah Afrika Selatan sedang merumuskan ijin untuk pembukaan kasino. Salah satu syarat yang diminta bagi mereka yang ingin mendapatkan ijin adalah harus memaparkan bagaimana mereka bisa mengangkat turisme yang dapat meningkatkan perekonomian serta penciptaan lapangan kerja.

Singkat cerita, sebuah konsorsium bernama Gold Reef City yang mendapatkan lisensi karena komitmen mereka untuk membangun sebuah museum.

Biaya pembangunan museum yang kemudian bernama Museum Apartheid itu sekitar 80 juta rand yang pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan bernama Section 21. Perusahaan pengelola terpisah dari Gold Reef City yang memberikan hak pengelolaan kepada Section 21 sepanjang berlakunya lisensi kasino.

Museum Apartheid bergantung pada donasi, kontribusi, dan sponsor untuk membiayai operasional dan pemeliharaan. Dengan itu semua maka pengunjung dan mereka yang tertarik pada sejarah akan dapat menyaksikan berbagai ilustrasi tentang bangkit dan runtuhnya sistem apartheid.

[caption id="attachment_1166" align="aligncenter" width="702"] salah satu sudut di Museum Apartheid, foto: Ian Cochrane[/caption]

Museum Apartheid direncanakan dengan matang. Sebuah konsorsium arsitektur yang terdiri dari sejumlah firma arsitektur berada di balik konsep disain bangunan yang bediri di atas tanah seluas tujuh hektar. Ketika berada di sana, saya merasakan sebuah museum dengan disain yang tidak sekadar menakjubkan tetapi juga memberikan South African experience kepada komunitas internasional.

Penataan eksebisinya pun enak untuk dinikmati. Saya bisa menikmati kisah sejarah dalam dukungan berbagai karya seni multimedia. Tak heran, sebab di belakang ini semua ada sebuah tim yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti para kurator, pekerja film, sejarawan, dan disainer. Mereka inilah yang mempersiapkan suguhan film yang provokatif, berbagai foto dramatis, panel-panel teks, serta berbagai artefak yang dapat menggambarkan kejadian dan berbagai kisah manusia yang menjadi bagian dalam sejarah kelam Afrika Selatan.

Sejumlah eksebisi permanen tak boleh dilewatkan. Pertama tentu saja 7 pilar yang disebut sebagai The Pillars of the Constitution. Pilar-pilar ini melambangkan landasan konstitusi baru Afrika Selatan pasca apartheid. Ketujuh pilar tersebut akan menyambut kedatangan para pengunjung yang dengan jelas akan bisa membaca pilar-pilar bertuliskan: democracy, equality, reconciliation, diversity, responsibility, respect, dan freedom.

[caption id="attachment_1167" align="aligncenter" width="710"] The Pillars of the Constitution, foto: Apartheid Museum[/caption]

Begitu akan memasuki museum kita akan dihadapkan pada Race Classification. Klasifikasi rasial adalah fondasi bagi sistem apartheid. Untuk lebih memahami realitas di masa apartheid, maka kita diharuskan memilih antara white atau non-white. Jujur, saya berdebar-debar mengambil pilihan. Baru kali ini ada museum yang dramatis sejak langkah pertama masuk.

Lalu kita pun akan larut dalam sejarah Afrika Selatan sejak ditemukannya tambang emas di Johannesburg tahun 1886 hingga terjadinya politik segregasi berdasarkan ras. Segregasi itulah yang menjadi landasan berlangsungnya sistem apartheid yang kemudian melahirkan kekerasan demi kekerasan terhadap warga kulit hitam.

Sisi kemanusiaan kita pun terusik. Emosi dan kebencian atas penindasan rasial meletup-letup. Kemudian perasaan solidaritas muncul saat memasuki area eksebisi yang berkisah tentang kebangkitan perlawanan terhadap apartheid hingga terciptanya rekonsiliasi yang salah satunya dipelopori oleh tokoh nasional Afrika Selatan Nelson Mandela.

Saya membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengamati setiap hal yang ada. Perjalanan di dalam museum ini benar-benar menguras emosi. Saya seperti berada di tengah-tengah jeritan dan tangis kepanikan mereka yang berhamburan agar tak tertembak saat demonstrasi damai dibubarkan passa oleh apparat bersenjata, seperti berada di antara desing peluru yang tertuju pada para warga kulit hitam yang berjuang untuk menumbangkan tirani.

[caption id="attachment_1165" align="aligncenter" width="980"] salah satu sudut di Museum Apartheid, foto: cnn[/caption]

Jika saja tak ada kewajiban untuk meliput berita lain, bukan tidak mungkin saya akan berada lebih lama di sana. Museum Apartheid buka setiap hari sejak pukul 9 pagi sampai 5 sore dan hanya ditutup saat perayaan Jumat Agung, Natal, dan Tahun Baru.

Saya menarikhembuskan nafas di sebuah taman di belakang museum. Angin bertiup lembut dan sejuk. Lalu dalam hati saya akan merekomendasikan museum ini bagi mereka yang ingin memahami dan merasakan seperti apa sistem apartheid itu berjalan dan menindas Afrika Selatan. Kita harus belajar bahwa rasialisme itu menyakitkan!

Johanes Indra | traveltoday 

 

 

5 Hari 4 Malam di Perairan Nusa Tenggara (Bagian Keempat)

Lanjutan bagian ketiga

Tak ada kata puas berenang di pesisir pantai Pulau Kelor. Pulau kecil yang indah dan bisa direnangi hanya satu kali putaran. Namun, pemandu kami sudah meminta semua peserta untuk kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo.

Kota Labuan Bajo tampak terlihat kecil dan jauh di sebelah barat Pulau Kelor. Jam menunjukkan pukul empat sore. Kami mengeringkan diri di anjungan sambil menikmati pemandangan. Kemudian kami diingatkan untuk segera merapikan barang karena perjalanan kami akan berakhir di Labuan Bajo. Kapal akan sandar satu malam di Pelabuhan Labuan Bajo. Dan besok siang akan kembali menuju Lombok dengan membawa penumpang yang berbeda. Jika berkenan, kami diijinkan untuk tidur di kapal malam ini. Namun saya dan teman-teman memutuskan untuk mencari hotel di dalam kota dan ingin menikmati wisata malam Kota Labuan Bajo.

[caption id="attachment_1157" align="aligncenter" width="960"] pemandangan Labuan Bajo dari dalam kapal, foto: traveltoday[/caption]

Setengah jam kemudian kapal kami melepas jangkar di pelabuhan. Pelabuhan ini tampak ramai. Banyak kapal turis dan kapal barang yang bersandar. Tampak satu kapal Pelni yang mengangkut penumpang antarpulau yang besar bersandar di bagian ujung kanan kami. Sebelum turun saya mengabadikan dermaga dan Kota Labuan Bajo. Tampak kota kecil yang indah di pesisir pantai yang seakan bersandar ke bukit di belakangnya. Rumah-rumah terlihat bertingkat. Makin ke belakang makin meninggi mengikuti bentuk bukit. Saya tak sabar untuk menjelajahinya.

Para penumpang turun satu per satu. Kami saling bersalaman dan berpelukan, mengucapkan salam perpisahan. Kami mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Kemudian saling bertukar nomor handphone dan akun facebook agar tetap bisa berhubungan. Betapa perpisahan ini terasa berat. Namun masih ada satu malam lagi. Kami berjanji untuk bertemu dan menghabiskan malam ini di sebuah kafe yang sangat terkenal di sini, yaitu Paradise Cafe.

[caption id="attachment_1153" align="aligncenter" width="960"] Zahrudin Haris (tengah bawah) dan turis lainnya sedang ber-foto di Labuan Bajo, foto: traveltoday[/caption]

Saya dan teman-teman dari Jakarta sekarang telah menjadi satu grup. Awalnya bertiga, kini menjadi empat  orang. Ditambah dua orang teman wanita peserta tur asal Amerika dan satu orang lagi wanita cantik yang traveling sendirian asal Perancis. Kami menyeberang jalan dan memilih jalur ke kanan dari dermaga dipandu oleh Bli Anto. Pemandu yang sudah menjadi sahabat akrab perjalanan kami.

Jalanan lumayan padat. Motor, angkot, dan kendaraan pribadi berseliweran di jalan raya yang tidak tampak rapi. Tidak ada trotoar buat pejalan kaki. Jadi kami harus lebih berhati-hati.  Ternyata tidaklah mudah mencari hotel di kota kecil ini. Setelah berjalan cukup jauh, keluar masuk beberapa hotel dan ternyata semua hotel penuh. Karena masing-masing hotel hanya ada satu dan dua kamar, akhirnya teman asal Perancis mengambil satu kamar untuknya yang tersisa. Kemudian dua teman asal Amerika di hotel yang berbeda. Dan setelah berputar-putar mencari, kami mendapatkan dua kamar tersisa di Hotel Matahari.

Hotel kecil ini bertingkat tiga. Tampak tua namun masih terawat. Di lantai paling atas terdapat kafe Matahari dengan pemandangan laut dan dermaga Labuan Bajo. Setelah meletakkan barang. Saya dan teman-teman bersantai di kafe itu. Pesan teh dan kopi, mie rebus, dan duduk bersandar merebahkan diri sambil menikmati pemandangan yang sangat indah. Saya jadi teringat foto-foto seperti ini yang sering saya lihat di majalah travel yaitu Monaco. Hanya saja ini versi Labuan Bajo. Bedanya, di Monaco dipenuhi dengan gedung-gedung yang indah namun di sini pemandangan lautnya lebih memukau.

Sunset di Labuan Bajo adalah Juaranya

Saya sangat menyukai sunset. Melihat matahari yang perlahan turun di batas cakrawala dengan warna jingga itu sangat menyenangkan buat saya. Saya sudah mendatangi banyak tempat sekadar untuk menikmati terbenamnya matahari.

Saya sudah berkeliling ke banyak pantai demi sunset. Di Bali saya singgahi pantai-pantai seperti Tanah Lot, Kuta, Seminyak, Dream Land, Pandawa, Blue Point. Senggi dan Tiga Gili di Lombok. Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi di Belitung. Juga sejumlah pantai di Pulau Jawa seperti Pantai Merah, Banyuwangi dan Krakal di Jogja.

[caption id="attachment_1154" align="aligncenter" width="960"] pemandangan sunset di Labuan Bajo, foto: traveltoday[/caption]

Dalam perjalanan saya menjelah Asia, saya menikmati pemandangan sunset yang indah di beberapa negara. Seperti Pantai Phuket, Phi Phi Island, dan Pattaya di Thailand. Pantai di Singapura, Malaysia dan Jepang. Juga pantai-pantai asli dan buatan di Dubai dan Abu Dhabi.

Pernah pula dalam perjalanan ke Australia saya menyempatkan diri bersantai dan menikmati sunset di kafe sepanjang Opera House Sidney, juga Pantai Cogee, dan Bondi. Dan yang paling jauh yang pernah saya sambangi adalah Pantai Copacabana dan Ipanema di Rio de Janeiro, Brazil.

Pemandangan sunset di tempat-tempat yang saya sebutkan tadi indah.  Mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun sunset di Labuan Bajo sore ini menurut saya adalah juaranya. Keindahannya membuat saya sulit mengungkapkan dengan kata-kata.

Matahari berpendar memecah langit masuk ke awan-awan tipis layaknya kapas yang diberi cahaya. Warna merah, kuning, jingga dan violet berpadu dengan indah. Tidak hanya mewarnai langit tapi juga memancar dari kedalaman laut di ujung sana. Fantastis.

Pemandangan ini sungguh membuat kami terpana. Pandangan mata kami seakan tersihir untuk terus melihatnya. Dan bibir kami tanpa sadar terus mengucap betapa keindahan ini tak terperi. Saya memuji keagungan Illahi yang meciptakan semua ini.

Teman-teman saya tidak berhenti mengambil foto dan merekam peristiwa ini. Begitupun saya. Sebelum keindahan ini berlalu, saya segera mengambil beberapa foto juga merekamnya dengan ponsel yang saya miliki. Agar momen ini bisa saya nikmati berkali-kali.

Segarnya Ikan Bakar di Pasar Malam Pantai Labuan Bajo

Senja telah menghilang di ufuk cakrawala. Keindahan itu telah pergi berganti dengan cahaya lampu kota yang kini menghias malam. Kami kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Bersiap makan malam bersama teman-teman peserta tur lainnya.

Kami menyusuri tepian jalan raya menuju Pasar Malam Labuan bajo yang sangat terkenal. Jarak antara hotel dan pasar malam ini sekitar lima ratus meter. Pasar malam memanjang di tepi pantai tidak jauh dari dermaga tempat kami turun tadi sore. Tenda-tenda penjual makanan memanjang hampir seratus meter. Kami berjalan dari awal ke ujung dulu untuk melihat, memilih tempat dan makanan yang kami suka. Di depan setiap warung tampak tersaji ikan-ikan segar berbagai jenis dan pilihan warna yang sangat menggugah selera.

[caption id="attachment_1155" align="aligncenter" width="960"] pilihan beragam ikan segar di Labuan Bajo, foto: traveltoday[/caption]

Kami memilih satu warung yang tidak terlalu ramai. Kemudian memilih beberapa ikan segar untuk dibakar dan disajikan dengan berbagai jenis sayuran, sambal, dan lalapan. Tak berapa lama, teman Amerika dan Perancis bergabung bersama kami. Mereka memesan menu yang sama. Teman-teman turis asing ini sangat mengagumi beragam ikan yang ada di depan warung. Sambil banyak bertanya, mereka mengambil beberapa foto dengan tatapan sangat senang dan bahagia. Betapa negeri kita ini sangat kaya.

Ikan bakar tersaji di depan mata. Setelah beberapa hari memakan sajian di kapal yang menunya tidak banyak berubah, tentu saja makanan ini menggiurkan. Ikan segar yang tadi sore masih berada di laut berpadu dengan sayuran hijau yang tadi pagi masih di ladang, serta sambal terasi yang memerah menantang mata kini terhidang di meja.... Ahhhh.... Sungguh nikmat rasanya.

Berkali-kali teman-teman mengucapkan pujian atas nikmatnya menu malam ini. Termasuk teman-teman turis asing yang ikut-ikutan mencocolkan ikan di atas sambal yang tersedia. Walaupun sedikit kepedasan namun mereka terus menyantapnya dan berulang kali memuji nikmatnya ikan dan sayuran yang tersaji malam ini.

Kami menghabiskan makanan dengan cepat. Kemudian bersantai sejenak. Melegakan perut yang terasa penuh agar bisa melanjutkan wisata malam ini.

Bergoyang di Paradise Cafe

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kami membayar makanan yang terasa murah jika dibandingkan dengan makan di Jakarta. Kemudian kami berjalan kaki menuju kafe Paradise.

Kafe ini terletak agak keluar dari kota Labuan Bajo. Jaraknya dari pasar malam sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Lebih kurang 500 sampai 700 meter. Namun karena terletak agak sedikit di atas bukit dan jalanan menuju ke sana menanjak membuat kami agak lelah. Namun kami dengan santai menjalaninya kendati tak ada lampu penerangan jalan. Tidak sampai lima belas menit kami tiba di lokasi. Setelah masing-masing membayar sebesar lima puluh ribu rupiah, kami mendapatkan satu botol minuman.

[caption id="attachment_1156" align="aligncenter" width="960"] Zahrudin Haris (kiri) dan turis lainnya sedang menikmati musik di Paradise cafe & bar, foto: traveltoday[/caption]

Begitu tiba di dalam, semua teman peserta tur sudah berkumpul. Tempat ini cukup besar untuk ukuran Labuan Bajo. Pengunjung yang datang sudah lumayan ramai. Terdapat satu panggung yang diisi oleh penampilan band reggae yang membuat kami ingin bergoyang. Di bagian belakang tampak terbuka dengan pemandangan langsung ke lautan Taman Nasional Komodo.

Kami memesan minum dan bersulang. Awalnya kami hanya duduk saling bercerita menyaksikan band yang tampil dengan lagu-lagu reggae yang sangat terkenal. Kemudian satu demi satu mulai turun ke lantai disko, bergoyang mengikuti irama lagu. Dan akhirnya semua turun berjoget.

Lampu berkelap-kelip di dalam kafe.  Suara vokalis yang merdu berbaur dengan irama musik yang asyik menemani goyangan kami. Kami berjoget berpasang-pasangan, kemudian menyatu, terus bergabung dengan pengunjung-pengunjung lainnya. Saling berkenalan dan bertukar minuman. Semua menyatu dalam tawa dan canda serta kegembiraan yang sama.

O malam... bergeraklah perlahan. Agar keakraban dan kebahagiaan ini tak cepat pergi.

Bersambung...

Sunday, February 12, 2017

Berburu Makanan Serba Seribu dan Serba Nikmat di Semarang

Simpang Lima sudah sangat terkenal buat penikmat kuliner. Bukan hanya masyarakat Kota Semarang tetapi juga untuk pencinta makanan yang sedang berkunjung ke kota ini akan menyempatkan diri untuk mampir.

Banyak warung makan yang berdiri di Simpang Lima. Menunya juga sangat beragam. Mulai dari Mie Jawa dan Nasi Ayam yang sangat terkenal. Sampai makanan lain seperti nasi goreng, pecel ayam, bakso, pecel lele, dan lain-lainnya.

Kalau membahas makanan yang ada di Simpang Lima, tentu tidak akan ada habisnya. Tapi untuk kali ini saya mengajak traveller menuju salah satu sudut di Simpang Lima. Yaitu di Jalan Ahmad Dahlan. Jalan yang terletak di antara Citra Land Mal dan Plaza Simpang Lima.

Gilo-gilo: Makanan Serba Seribu

[caption id="attachment_1145" align="aligncenter" width="690"] Gilo-gilo: Makanan Serba Seribu, foto: traveltoday[/caption]

Sedikit di bawah jembatan penyeberangan yang menghubungkan gedung Citra Land Mal dan Plaza Simpang Lima, di dekat pangkalan taksi, ada gerobak makanan yang selalu ramai oleh pengunjung. Orang Semarang mengenalnya sebagai gilo-gilo. Cara menjajakan makanan yang unik dan khas Semarang.

Isi gerobak gilo -gilo macam-macam. Mulai dari gorengan tempe, tahu, bakwan, dan perkedel. Ada pula beragam jenis sate seperti sate ayam, sate daging, sate usus, sate hati dan rempela, sate kerang, dan darah ayam yang saya tidak berani memakannya.

Potongan buah-buahan seperti pepaya, melon, semangka, bengkoang dan nanas pun ada. Tertata bersama nasi bungkus dan nasi goreng bungkus.

Menariknya, semua makanan yang saya sebutkan tadi dibanderol sama yaitu Rp 1000,-. Ya, seribu rupiah saja. Sangat murah bukan.

Anda bisa duduk di kursi atau lesehan di atas tikar yang telah disediakan. Saya mencoba dua gorengan, satu tusuk sate, dan sepotong buah. Minumnya teh manis. Total cuma lima ribu rupiah saja.
Rasanya pun lezat, tidak kalah dengan gorengan dan sate yang ada di restoran.

Es Puter Conglik

[caption id="attachment_1143" align="aligncenter" width="688"] es puter conglik, foto: traveltoday[/caption]

Setelah puas makan gorengan dan sate berjalanlah lurus menjauhi Simpang Lima menuju Rumah Sakit Telogo Rejo. Sekitar seratus meter, Anda akan menemukan satu warung tenda seperti warung pecel lele di Jakarta. Namun yang dijual es puter. Namanya Es Puter Conglik.

Teman saya bilang kalau dulu ke Semarang itu wajib makan bakpia dan lumpia. Kini makanan yang wajib dicoba adalah Es Puter Conglik dan Tahu Gimbal.

Saya sangat penasaran ingin mencobanya. Menurut teman saya lagi, warung es puter ini sudah sering diliput televisi dan jadi bahasan di media sosial.

Kami duduk di bangku berjejer yang sudah disediakan. Di atas meja ada banyak makanan yang disajikan seperti lumpia, kroket, dan berbagai jenis keripik. Tapi fokus saya tentu saja pada menu utama.

[caption id="attachment_1146" align="aligncenter" width="697"] es puter conglik, foto: traveltoday[/caption]

Di daftar menu memang ada banyak pilihan. Namun yang istimewa adalah Es Cream Komplit. Yang terdiri dari dua potong durian, kelapa parut, buah lontar, potongan roti pandan, satu skop es krim stroberi, vaniIa, dan alpukat. Saya langsung memilih menu tersebut.

Tidak sampai lima menit, es krim yang saya pesan sudah datang. Perpaduan warna kuning durian, hijau roti pandan, dan alpukat, merah stroberi dan putih susu vanila, tampak sangat indah dan menggugah selera. Rasanya benar-benar nikmat.

Menu yang saya pilih itu mesti ditebus dengan harga Rp 25.000,-. Harga yang terasa murah karena kelezatannya.

Tahu Gimbal Bu Temu

[caption id="attachment_1144" align="aligncenter" width="700"] tahu gimbal ibu temu, foto: traveltoday[/caption]

Sebenarnya perut saya sudah penuh. Tapi tetap penasaran dengan Tahu Gimbal Bu Temu. Letaknya cuma beberapa puluh meter dari Es Puter Congklik. Tepatnya persis di depan pintu masuk RS Telogo Rejo.

Hari mulai hujan ketika kami mampir ke sana. Saya langsung pesan menu tahu gimbal lengkap tanpa lontong. Bu Temu pemilik warung sudah tampak tua. Is menyiapkan menu yang kami pesan sambil berlindung dari hujan.

Tak lama kemudian tersaji satu porsi tahu gimbal. Saya mengaduknya perlahan sambil memperhatikan isinya.

Ada potongan tahu goreng, telur ceplok, gimbal yaitu bakwan isi udang yang juga dipotong-potong dan irisan kol mentah. Diatasnya ditabur kuah kacang. Serta kerupuk. Mirip gado-gado dengan isi yang berbeda.

Setelah tercampur rata, saya makan perlahan. Mencoba merasakan kelezatannya.

Ternyata teman saya tidak salah. Tahu Gimbal Bu Temu memang nikmat dan murah. Sepiring harganya Rp 13.000,- saja.

Tahu gimbal menjadi makanan yang harus anda coba kalau sedang ke Semarang. Tentu saja, tahu gimbal menjadi menu favorit saya.

Selamat berwisata kuliner di kota Semarang.

Zahrudin Haris, traveltoday

Friday, February 10, 2017

Mangut yang Bikin Manggut-manggut

Saya baru tahu kalau di Semarang banyak makanan enak. Kota ini menjadi destinasi yang menarik untuk yang suka berwisata kuiner. Banyak jenis makanan yang bisa dicoba. Salah satunya: mangut.

Pertama kali diajak makan mangut tahu, saya bertanya berkali-kali. Apa itu mangut? Karena menurut saya yang berasal dari Sumatera, nama tersebut terdengar aneh dan sesuatu yang menggelikan.

[caption id="attachment_1132" align="aligncenter" width="683"] mangut gudeg, foto: traveltoday[/caption]

Sebagai orang yang sangat suka mencoba sesuatu yang baru. Saya langsung penasaran ingin merasakannya. Prinsip saya kalau soal makanan, coba dulu. Kalau enak jadikan langganan. Kalau gak suka yang penting sudah tahu rasanya.

Menurut teman saya yang sangat suka makan, ada mangut yang palung enak dan sangat terkenal di Semarang. Yaitu di Warung Makan Sidorejo yang berada di Jalan Imam Bonjol No. 111, Semarang.

Waktu menunjukkan jam 9.30 pagi ketika kami tiba di sana. Wuih! Ternyata, kami harus antre. Tempat yang cukup besar untuk sebuah warung penuh. Kami harus menunggu tamu-tamu yang datang lebih dulu selesai makan agar bisa duduk bergantian.

[caption id="attachment_1136" align="aligncenter" width="700"] beragam makanan yang dapat anda nikmati di warung Sido Rejo, foto: traveltoday[/caption]

Sekitar 10 menit kemudian kami mendapatkan tempat duduk. Saya langsung pesan mangut tahu ditambah dengan nasi pecel koyor. Bukan karena rakus, tapi semata karena dua menu ini belum pernah saya coba.

Di depan saya tersaji satu mangkuk mangut tahu yang dibanderol Rp 9.000,-dan satu piring nasi pecel koyor seharga Rp 17.000,-. Saya dapat dua porsi makanan dengan harga yang tidak sampai Rp 30.000,-.

Mangut itu ternyata sepotong ikan yang telah diasapi, disajikan dengan sepotong tahu goreng kemudian diguyur kuah kacang. Setelah saya coba... Hmmmmm... Rasanya membuat saya manggut-manggut nikmat.

[caption id="attachment_1133" align="aligncenter" width="672"] pecel koyor, foto: traveltoday[/caption]

Sedangkan nasi pecel koyor itu nasi plus sayuran dan koyor itu adalah urat kaki sapi ditabur kuah pecel. Nasi pecel sudah biasa saya makan. Tapi koyor yang saya pikir awalnya kopyor ternyata urat kaki sapi yang direbus dengan bumbu mirip kikil sapi namun tanpa lemak. Rasanya kenyal dan lembut di mulut. Buat yang suka kikil, buntut ataupun kulit sapi pasti sangat menyukai koyor.

Teman-teman yang berkunjung ke Semarang, jangan lewatkan tempat ini. Dijamin pasti akan kembali lagi.

Zahrudin Haris, CEO Travel Today

Wednesday, February 8, 2017

5 Hari 4 Malam di Perairan Nusa Tenggara (Bagian Ketiga)

Lanjutan dari bagian kedua

Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Tapi gelap sudah memudar. Laut sangat tenang tak berombak. Embun tipis yang menyelimuti perlahan mulai menghilang.

Setiap hari  saya terbilang bangun paling pagi. Beradu cepat dengan pemandu kami yang sangat luar biasa. Ketika saya keluar dari kamar kabin, waktu baru menunjukkan pukul 5.30 pagi. Saya berjalan ke depan dan mendapati Bli Anto, pemandu kami telah duduk santai di anjungan.

[caption id="attachment_1120" align="aligncenter" width="960"] Zahrudin Haris (tengah) bersama Bli Anto (kiri), foto: traveltoday[/caption]

Saya bertegur sapa sejenak dengan bapak muda asal Bali yang telah lama tinggal di Lombok ini. Ia setiap minggu bekerja sebagai pemandu wisata, menyusuri pulau-pulau dari Nusa Tenggara barat ke timur. Begitu juga sebaliknya. Namun Bli Anto tidak pernah berhenti mensyukuri keindahannya. Banyak cerita menarik darinya. Termasuk cerita tempat yang akan kami kunjungi pagi ini, yaitu Pulau Komodo.

Menyusuri Jejak Komodo di Pulau Komodo

Setelah sarapan, kapal yang kami tumpangi berjalan perlahan menuju Pulau Komodo. Jarak dari Pulau Kalong tempat kami menginap semalam dengan pulau Komodo tampak tidak terlau jauh. Lebih kurang satu jam, kami sudah bersandar di dermaga Pulau Komodo. Dermaga ini tampak kokoh dan memanjang dari laut ke tepi pantai. Tampak sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan semua turis baik domestik maupun mancanegara.

Pemandu kami mengingatkan untuk memakai perlengkapan trekking, karena kami akan menjelajahi pulau ini agar bisa menemukan dan melihat komodo dari dekat. Setelah siap, kami memasuki pulau.

Kami disambut oleh gerbang yang bertuliskan: Selamat Datang di Pulau Komodo. Pemandu kami membeli tiket masuk. Dan kami pun berkumpul mendengarkan arahan dari pemandu khusus Pulau Komodo. Sebagian besar pemandu khusus itu adalah penduduk lokal yang sudah sangat akrab dengan pulau ini.

[caption id="attachment_1121" align="aligncenter" width="960"] Gerbang masuk Pulau Komodo, foto: traveltoday[/caption]

Kami mendapatkan penjelasan singkat tentang pulau ini. Pulau yang berada di sisi selatan Nusa Tenggara Timur ini pertama kali diberi nama Pulau Komodo oleh Steyn vans Hens Broek. Ia adalah seorang peneliti asal Belanda  yang datang ke Pulau Komodo karena penasaran.  Ia ingin membuktikan cerita dari tentara Belanda tentang adanya hewan besar yang menyerupai naga di pulau ini.

Setelah datang ke Pulau Komodo, Steyn memburu dan membunuh seekor komodo dan mendokumentasikannya. Hasilnya dibawa ke Museum Zoologi di Bogor untuk diteliti. Hasil penelitiannya tersebut kemudian dipublikasikan pada tahun 1912. Sejak itulah berita tentang Pulau  Komodo dan hewan Komodo menyebar ke seluruh dunia.

Komodo adalah reptil darat terbesar di dunia yang sudah hampir punah. Binatang ini hidup endemik hanya di dua pulau, yaitu Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Kedua pulau ini berdampingan, dibatasi Selat Komodo dan berjarak lebih kurang 100 meter. Komodo termasuk jenis hewan karnivora, yang mempunyai lidah bercabang dua yang berfungsi sebagai pengecap. Komodo membuat sarang di dalam tanah.

Komodo termasuk binatang yang unik, karena mempunyai dua cara untuk bereproduksi. Pertama dengan cara pembuahan antara sang jantan dan sang betina (fertilisasi). Kedua dengan cara parthenogenesis, yaitu membuat seekor komodo betina menjadi hamil tanpa proses pembuahan. Tetapi cara ini mengakibatkan semua telur yang dilahirkan akan berjenis kelamin jantan. Namun sistem parthenogenesis inilah yang menyebabkan bertahannya spesies yang merupakan kerabat dinosaurus ini dari kepunahan.

Kami diberi tiga pilihan trip, yaitu trip satu jam, dua jam dan tiga jam. Karena cuaca mendung dan tampak akan hujan, kami memilih jalur yang dua jam. Ada dua orang yang memandu kami, satu di depan dan satu di belakang. Saya yang selalu penuh rasa ingin tahu, memilih berjalan berdampingan dengan pemandu yang di depan.

[caption id="attachment_1122" align="aligncenter" width="960"] rombongan turis sedang menjelajahi Pulau Komodo, foto: traveltoday[/caption]

Saya banyak bertanya tentang kondisi pulau ini. Menurut pemandu, pulau ini sebagian besar hutan lebat. Makin jauh dijelajahi makin lebat hutan yang dilewati. Ada banyak lokasi yang belum terjamah oleh manusia.

Karena kami datang di musim hujan, pulau ini tampak menghijau dan sangat subur. Jalur yang kami lalui sudah diberi tanda dan kami tidak boleh keluar jalur. Saya jadi ingat semasa sekolah dulu waktu aktif di pramuka dan pecinta alam yang harus menjelajah mencari tanda agar dapat lulus ujian kenaikan tingkat. Namun sekarang kami mencari tanda keberadaan komodo.

Karena rombongan yang agak besar, maka kami tidak bisa berjalan terlalu cepat. Dan hujan mulai turun. Pemandu kami berkata kalau hujan begini kemungkinan besar komodo jarang keluar dari sarangnya. Karena musim hujan sama dengan musim kawin. Mereka memilih tempat yang agak jauh dari penjelajahan manusia karena tidak ingin terganggu. Kami berjalan terus dan menemukan banyak jejak kaki komodo namun belum melihat keberadaan pemiliknya.

Beberapa saat kemudian, kami menemukan bekas sarang komodo. Sarang ini menyerupai gundukan tanah yang agak tinggi. Terlihat bekas pecahan cangkang telur komodo yang sudah lama. Kami melihat banyak burung, ayam hutan, monyet dan musang berkeliaran di sekitarnya. Ada beberapa rusa yang berlindung di balik pepohonan. Pulau ini tampak benar-benar alami dan terawat. Mungkin karena semua yang datang cuma dari satu pintu dan selalu diawasi oleh pemandu dari depan dan belakang. Sehingga semua turis tertib dalam penjelajahannya.

[caption id="attachment_1123" align="aligncenter" width="960"] bekas sarang Komodo yang kami temukan, foto: traveltoday[/caption]

Dua jam hampir berlalu, saya tetap fokus mencari dan melihat gerakan semak dan pepohonan di dalam hutan. Namun yang terlihat hanya gerakan pohon-pohon yang diakibatkan oleh rusa dan hewan-hewan lainnya. Sementara hujan mulai lebat. Semua peserta tampak mulai kecewa. Jauh-jauh datang kemari tidak bisa melihat dan bertemu komodo di habitatnya. Tentu saja kecewa. Namun sebelum perhentian terakhir, semangat tetap belum runtuh. Walau hujan mulai menggemuruh.

Dan benar saja... di ujung penjelajahan kami. Pemandu kami memberi tahu kalau ada komodo yang berada di dekat rumah pawangnya. Kami berlarian ke sana di bawah guyuran hujan. Berebutan mendekat. Tampak komodo yang sangat besar dengan panjang lebih dari 3 meter, tampak sudah tua dan malas bergerak. Matanya melihat kesana kemari dengan lidah menjulur-julur bercabang dua. Saya takut-takut mendekat. Namun semua peserta bule justru berebutan foto di dekat komodo tersebut.

[caption id="attachment_1124" align="aligncenter" width="960"] Zahrudin Haris sedang berfoto dengan Komodo, foto: traveltoday[/caption]

Beberapa pawang komodo mengingatkan agar jangan terlalu dekat dan jangan terlalu berisik agar komodo tersebut tidak terganggu. Sambil meminta pawang komodo teman perjalanan tadi  untuk memoto saya, saya memandangi komodo ini dengan perasaan luar biasa.

Selama ini hanya bisa melihat gambar dan video komodo di internet dan di mata uang rupiah, namun saat ini sungguh berada di depan mata. Saya terus menerus melihat dengan takjub sekaligus sangat bangga. Bangga karena hewan besar serupa naga ini tinggal dan berkembang biak di pulau yang berada di wilayah Indonesia. Bayangkan kalau berada di Afrika, berapa besar biaya yang harus saya keluarkan untuk sekadar melihatnya. Sama seperti teman-teman seperjalanan saya dari Eropa ini.

Setelah puas, kami diajak oleh pemandu untuk melihat-lihat kios suvenir khas Pulau Komodo. Mulai dari patung-patung komodo yang berukuran kecil hingga besar serta kain tenun khas Flores yang sangat terkenal keindahannya. Juga baju-baju kaos bermotif komodo. Setelah membeli beberapa suvenir untuk oleh-oleh, kami beristirahat di warung kopi yang banyak tersedia. Menyeruput teh hangat beserta pisang goreng di pulau yang ada di mimpi saya ketika kecil. Perasaan saya bungah.

Menjelajah Padang Savanna di Pulau Rinca

Hujan sudah mulai reda, kami pun segera kembali ke kapal. Walau pasir putih dan pantai yang landai di Pulau komodo tampak menggoda. Namun perjalanan belum usai. Kami harus melanjutkan ke pulau tetangganya yaitu Pulau Rinca.

Pulau ini berjarak kurang lebih 100 meter dari pulau Komodo. Namun ketika saya tanya pemandu saya. Komodo di Pulau Komodo tidak bisa menyeberang ke Pulau Rinca. Begitu juga sebaliknya. Menurut ceritanya, komodo di Pulau Rinca tampak lebih kecil dan lebih gesit. Karena pulau Rinca lebih berbukit-bukit dan lebih banyak padang rumput daripada hutan. Sehingga makanannya sedikit berkurang. Saya penasaran ingin membuktikannya.

Tidak berapa lama Pulau Rinca sudah tampak di depan mata. Dermaga pulau Rinca tampak lebih kecil. Sudah banyak kapal yang merapat. Kami harus menunggu sebentar untuk mendapatkan celah antrean agar kapal bisa melepas jangkar. Setelah kapal sandar. Kami tertib mengantre turun. Saya masih diselimuti rasa penasaran ingin melihat kehidupan liar komodo yang sesungguhnya di alam bebas. Bukan di halaman rumah pawangnya. Dan ingin melihat berekor-ekor, bukan hanya satu ekor.

[caption id="attachment_1125" align="aligncenter" width="960"] kapal sedang antre di pesisir Pulau Rinca, foto: traveltoday[/caption]

Kedatangan kami disambut oleh banyak monyet kecil yang bergelantungan di pohon-pohon sekitar dermaga. Monyet-monyet tersebut tampak akrab dengan para turis yang datang. Mereka bermain di sekitar kami, namun susah untuk dipegang. Mereka berlompatan menjulur-julurkan lidah seakan meledek dan berkata lihat boleh pegang jangan. Hehehe.

Kami menyusuri jalan setapak yang licin dan berlumpur karena habis hujan. Sekitar 500 meter dari dermaga, pemandu kami kemudian mendaftarkan diri dan membayar biaya masuk. Saya melihat banyak perbedaan pulau ini dengan Pulau Komodo. Terdapat lapangan yang cukup luas dan juga bekas rawa-rawa yang sudah dipangkas. Tidak ada pantai pasir putih ataupun tempat bersantai di pinggir pantai seperti Pulau Komodo. Di sepanjang bibir pantai pulau ini justru terdapat hutan bakau dan rawa-rawa yang menurut pemandu kadang-kadang terlihat buaya berenang.

Kami mendengarkan penjelasan dari pemandu dan pawang Komodo yang akan mendampingi perjalanan kami. Pulau Rinca terletak di sebelah barat Pulau Flores, yang dipisahkan oleh selat Molo. Pulau ini juga merupakan bagian dari Situs Warisan Dunia Unesco karena merupakan kawasan Taman Nasional Komodo bersama dengan Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Gili Motang.

Penjelajahan kami di Pulau Rinca dimulai. Barulah berjalan beberapa puluh meter, kami melihat seekor komodo yang berada di halaman rumah sedang berjalan diikuti oleh beberapa orang turis asing. Komodo ini juga tampak tua dan sudah tidak terlalu gesit. Mirip dengan yangkami temui di Pulau Komodo. Menurut pawangnya Komodo ini memang selalu berada di dekat rumah, karena sudah tidak pandai mencari makan dan bersaing dengan komodo-komodo lainnya. Jadi makanannya selalu disiapkan oleh pawangnya.

Setelah melihat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Dan tidak berapa lama, kami mendengar teriakan seseorang. Kami berlarian menghampiri. Dan tampaklah komodo muda yang sangat segar berada di tengah semak belukar. Komodo ini tampak gesit dan berbahaya. Kepalanya bergerak pelan ke kiri ke kanan seakan-akan waspada terhadap setiap ancaman. Matanya tampak memandang kami dengan ganas. Lidahnya menjulur-julur tanpa henti. Ekornya bergerak-gerak memapas tumbuhan yang ada di belakangnya.

Kami memandangnya dari jarak puluhan meter. Kami tak diperbolehkan mendekat oleh pawang. Berbahaya. Saya sedikit takut-takut namun takjub. Keinginan saya tadi menjadi nyata. Rasa penasaran saya terpenuhi. Beberapa kali melihat buaya di penangkaran namun jadi tidak berarti begitu melihat komodo ini. Tampak besar, gagah, ganas dan berbahaya. Komodo itu berjalan pelan menjauhi kami, lalu kami pun melanjutkan penjelajahan.

Kami menemukan seekor komodo lagi tak lama berselang. Lebih besar namun tidak lebih ganas dari yang sebelumnya. Saya mengabadikan setiap momen pertemuan dengan hewan-hewan raksasa ini. Setelah puas kami pun melanjutkan perjalanan.

[caption id="attachment_1127" align="aligncenter" width="960"] Komodo-Komodo yang dijumpai di Pulau Rinca, foto: traveltoday[/caption]

Makin lama kami melakukan penjelajahan, makin terlihat perbedaan antara Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Di pulau ini tampak banyak padang savanna yang sangat lapang dan indah untuk berfoto. Kalau di Pulau Komodo semua hutan lebat, kami tidak bertemu padang savanna sama sekali. Makin ke atas kami mendaki, makin indah pemandangan yang ada di pulau ini.  Benar kata pemandu kami tadi, jika ingin mendapatkan foto-foto yang indah dengan pemandangan savanna yang luas, serta hamparan laut biru dan pulau-pulau hijau di bawah sana, maka datanglah ke Pulau Rinca.

Kamipun tiba di atas Bukit Ora yang berketinggian 650 meter dari permukaan laut. Saya melihat pemandangan yang menakjubkan. Bukit ini merupakan padang savanna yang sangat luas yang membuat mata bebas memandang ke mana saja. Terlihat Pulau Komodo dan beberapa pulau lainnya. Juga hamparan laut yang luas serta beberapa kapal hilir mudik mengangkut turis yang berwisata. Kami mengabadikan semuanya di dalam kamera. Saya makin cinta alam Indonesia.

[caption id="attachment_1126" align="aligncenter" width="960"] Zahrudin Haris sedang berfoto di Bukit Ora, foto: traveltoday[/caption]

Bersantai di Pantai Pulau Kelor

Kapal berjalan perlahan memecah lautan yang tenang. Hujan telah benar-benar reda. Matahari sudah menampakkan diri. Kami menikmati makan siang dengan suka cita sambil bersenda gurau. Perjalanan dengan kapal empat hari benar-benar sudah mengakrabkan kami. Empat hari lalu kami tidak saling mengenal. Namun kini kami layaknya teman yang sudah kenal lama. Alam telah menyatukan kami layaknya satu keluarga.

Perjalanan menuju Pulau Kelor kami tempuh sekitar dua jam. Pemandu kami menunjuk satu pulau kecil yang tampak sudah dipenuhi beberapa kapal yang bersandar. Tidak ada dermaga di sana. Hanya hamparan pasir putih sepanjang pantai serta air laut yang sangat jernih berwarna hijau toska. Dasar laut  tampak jelas terlihat. Membuat kami ingin segera menyatu dan berenang di dalamnya.

[caption id="attachment_1128" align="aligncenter" width="693"] keindahan Pulau Kelor,foto: Travelling Story[/caption]

Setelah kapal melepas jangkar dan mendapatkan tempat untuk bersandar. Semua peserta tur tampak dengan santai satu persatu lompat dari kapal dan menceburkan diri. Saya memilih melompat dari sebelah kanan, karena langsung menuju laut yang dangkal. Sedangkan sebelah kiri tampak lebih dalam dan agak berombak. Para peserta turis asing memilih untuk turun di sebelah kiri dan langsung berenang menuju pantai yang sangat tenang.

Kami pun berenang bersama di air laut yang sangat jernih ini. Dasar laut yang berpasir putih layaknya tepung terasa lembut di kaki. Tidak ada karang di bawahnya. Menyenangkan. Kami berenang bersama di alam bebas,  layaknya anak kecil yang bermain di kolam renang anak-anak. Kami saling menyatu, saling bercerita, bersenda-gurau, mengobrol sana-sini, kemudian menyelam, berenang lagi,  mendekat dan menyatu lagi, saling bercerita kembali. Betapa santainya dunia. Sungguh... nikmat mana lagi yang akan kami temui?

Bersambung...

London, Tempat Sepakbola Diagungkan

Liga Primer Inggris Musim 2016/17 memang jadi musimnya para penggemar klub yang punya slogan Keep The Blues Flag Flying High. Saat ini Chelsea berpeluang besar untuk merengkuh gelar kelima liga.

Tetapi, satu hal yang menyita perhatian saya saat melihat klasemen sementara liga paling kompetitif di muka bumi ini adalah dominasi 3 tim kota London yang menempati tempat teratas untuk saat ini.

Selain Chelsea, Tottenham Hotspurs dan Arsenal masih ada 2 lagi tim kota London yang ikut bersaing. West Ham United dan Crystal Palace. London sendiri punya 18 tim profesional dan 80 tim dari liga amatir, bayangkan bagaimana kota ini menggilai sepakbola.

Buat saya dan penggemar sepakbola lainnya di Indonesia, kota yang terkenal dengan sungai Thames-nya ini menjadi sebuah destinasi impian yang harus dikunjungi. Terutama stadion-stadion yang ada di kota itu.

Saya mencatat setidaknya ada 15 stadion yang punya kapasitas lebih dari 10.000 kursi. Tentu saja ada sejumlah stadion kecil untuk tim-tim dari distrik yang tersebar di London.

Maka tepat rasanya apabila London adalah surganya penjelajah sejarah sepakbola.

Saya akan mengajak anda untuk mengintip beberapa stadion yang harus dikunjungi apabila datang ke kota yang punya populasi terbesar di benua Eropa. Dan ketika bicara sejarah tentu kita harus mengikuti usia stadion tersebut.

Mari kita mulai dengan yang termuda dari yang saya anjurkan!

Olympic Stadium (London Stadium)

[caption id="attachment_1109" align="aligncenter" width="698"] foto: FabriTec Structures[/caption]

Stadion yang menjadi kebanggaan para pendukung West Ham United ini dibangun tahun 2008 dan dibuka untuk umum di tahun 2012. Terletak di distrik Strantford yang berada di sebelah timur kota London. Di tahun yang sama setelah dibuka stadion ini langsung digunakan untuk event sebesar London Olympic dan Paralympic 2012. Ketika menjelajah sejarah seisi stadion yang punya kapasitas 60.045 kursi ini anda juga bisa menikmati keindahan daerah yang lebih dikenal sebagai daerah industri ini (jangan samakan daerah industri di London dengan yang ada di Indonesia).

Arsitektur gereja St.John the Evangelist tak kalah indahnya dengan bangunan-bangunan gereja yang ada di Italia dan Spanyol. Dan sempatkan juga untuk mampir ke Arcelor Mital Orbit, menara observasi dan seni pahat yang menjulang ke atas dengan tinggi 374 kaki. Tempat yang bagus untuk tren berfoto jaman sekarang.

Emirates Stadium

[caption id="attachment_1110" align="aligncenter" width="714"] foto: Arsenal.com[/caption]

Rumah bagi Alexis Sanchez dan kawan kawan ini ada di daftar kedua stadion yang harus kalian kunjungi. Mulai dibangun di tahun 2004 dan memakan waktu 2 tahun sebelum memainkan laga pertama Arsenal menggantikan Highbury Park.

Stadion yang terletak di Holloway ini menjadi stadion multifungsi terbesar ketiga di Inggris setelah Wembley dan Old Trafford dengan kapasitas 60.432 kursi.

Jangan kaget apabila anda menemui berbagai orang dari mancanegara di Holloway, karena ini memang daerah multikultural. Selain itu anda juga sangat mungkin untuk menjumpai orang terkenal di sini, mengingat tempat ini menjadi peristirahatan bagi sejumlah pelaku seni televisi dan film serta penulis dan jurnalis.

Jangan lupa saat memulai tur stadion untuk mengunjungi musium Arsenal dimana para Gooners akan dimanjakan dengan sejarah tim dari videografi juga sejumlah trofi dan barang-barang peninggalan legenda tim asuhan Arsene Wenger saat ini.

Wembley Stadium (New Wembley)

[caption id="attachment_1111" align="aligncenter" width="692"] foto: Sports Illustrated[/caption]

Stadion yang satu ini jelas tidak perlu banyak diperkenalkan. Popularitasnya berbicara sendiri. Stadion yang menjadi markas utama Tim Nasional Sepakbola Inggris ini merupakan stadion terbesar kedua di Eropa dan terbesar di Inggris.

Stadion Wembley berkapasitas 90 ribu tempat duduk. Bayangkan jika anda berada di dalamnya dan merasakan kemegahannya.

Di daerah Wembley anda akan menjumpai Central Mosque Wembley yang telah didirikan sejak tahun 1985 menggantikan gereja St.Andrew Prebysterian yang kosong selama 15 tahun. Diversifikasi menjadi hal yang dijunjung tinggi di sini. Sebelum pergi dari stadion yang disebut juga sebagai Rumah Sepakbola ini sempatkan juga untuk melihat trofi Piala Dunia 1966 yang dimenangkan oleh Inggris melalui Bobby Charlton dan Geoff Hurst saat itu.

Selhurst Park

[caption id="attachment_1112" align="aligncenter" width="687"] foto: Premier Football Books[/caption]

Anda pasti familiar dengan sosok Sam Allardyce. Ya, pelatih yang paling cepat mengakhiri jabatannya sebagai pembesut timnas Inggris akibat skandal suap.

Namun ia telah kembali dan kini melatih Crystal Palace salah satu kontestan Premier League asal London yang bermarkas di Selhurst Park. Stadion yang mulai dibuka pada tahun 1924 ini punya kapasitas 25.456 kursi dan telah menjadi kandang bagi The Eagles sejak awal dibuka.

Crystal Palace memang hanya tim semenjana, namun sejarah tim yang sudah berusia 111 tahun ini tentu tidak boleh dilewatkan oleh anda para penggila sepakbola. Apalagi para penggila kopi akan dimanjakan di daerah Selatan Norwood karena ada belasan coffeshop yang tersebar di sini.

White Hart Lane

[caption id="attachment_1113" align="aligncenter" width="686"] foto: www.telegraph.co.uk[/caption]

Sejak ditangani oleh Mauricio Pocchetino, Tottenham Hotspurs telah menjadi penantang serius gelar Premier League dari musim ke musim. Pemilik 2 gelar kasta tertinggi sepakbola Inggris di tahun 1950/51 dan 1960/61 sudah melakoni 12 pertandingan di hadapan pendukungnya sendiri di White Hart lane dan belum pernah kalah di musim ini.

Stadion yang punya kapasitas 36.285 dan dibuka sejak tahun 1899 ini memberikan tuah tersendiri bagi Harry Kane dan koleganya. Oleh karena itu ini menjadi salah destinasi stadion yang harus dikunjungi tentunya.

Terletak di Tottenham di sebelah utara London, tempat ini menghadirkan sejumlah tempat bersejarah yang bisa kalian saksikan tentunya selain stadion itu sendiri. Mulai dari All Hallows Church yang berusia lebih dari 700 tahun, lalu Broadwater Farm, St.Anne's Church, Broke Street Chapel hingga Bruce Castle yang dibalut berbagai nilai historis bisa membuat anda berlama-lama di Tottenham.

Sebelum beranjak ke stadion berikutnya, sempatkan juga untuk mencicipi keju dari Wilder Cheese yang akan menggoyang lidah anda.

Stamford Bridge

[caption id="attachment_1115" align="aligncenter" width="695"] foto: The Independent[/caption]

Seperti yang saya katakan di awal, bahwa musim ini bisa menjadi musimnya Chelsea.

Saya memandu siaran langsung pertandingan Liga Primer antara Chelsea dan Arsenal. Anak-anak buah Antonio Conte berhasil membalas kekalahan mereka di paruh musim pertama dan secara tidak langsung menjauhkan Arsenal dari peta kekuatan perebutan gelar. Dan itu mereka lakukan di Stamford Bridge. Stadion ini bersejarah!

Stamford Bridge tahun 1876 dan dibuka satu tahun kemudian dengan kapasitas 41.490 kursi. Ia telah menjadi saksi atas 5 gelar kompetisi teratas Liga Inggris dari tim yang saat ini dimiliki oleh Roman Abramovich.

Fulham yang menjadi nama daerah tempat Stamford Bridge didirikan juga punya banyak peninggalan arsitektur bersejarah yang dilestarikan, salah satunya Fulham Pottery. Selain itu di area ini bertebar restoran-restoran yang menyajikan makanan yang sayang untuk dilewatkan seperti Hally's, Claude's Kitchen dan Harwood Arms dan lainnya.

Buat yang ingin berwisata malam maka ini menjadi tempat yang pas. Sejumlah Bar dan Pub siap memanjakan anda. Cobalah datang ke White Horse atau Malt House dan Amuse Bouche. Alkohol di udara yang dingin memang nikmat.

Itulah sedikit gambaran dari 6 stadion yang bisa dikunjungi di kota London. Bagaimana? Bukankah ini surga sepakbola? Jika memang Chelsea bisa juara atau Arsenal dan Tottenham yang punya kesempatan maka alangkah indahnya jika bisa menyaksikan langsung kehebatan tim-tim ini langsung mengangkat trofi di depan mata kita. Tentunya sambil menjelajah stadion dan berwisata di kota London.

Stewart Henry

Friday, February 3, 2017

Harapan Tahun Baru di Pulau Harapan (Bagian Pertama)

Tahun baru di Pulau Harapan merupakan pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Pengalaman yang menggelikan, menyenangkan, maupun menyedihkan saya rasakan saat itu.

Awal kisahnya dimulai dari sebuah rumah kontrakan. Ketika itu saya masih bertempat tinggal di Tebet bersama teman-teman saya. Mereka adalah Stewart sang presenter bola, Christoper sang peracik minuman, Stevie yang setengah mafia yang dibalut tato di sekujur tubuhnya, Andy sang montir, Adrian sang fotografer, Wendy sang juragan kuliner, dan saya sang desainer grafis.

[caption id="attachment_1100" align="aligncenter" width="640"] dari kiri: christoper, andy, adrian, demy, okta, stewart, stevie, andhika[/caption]

Menjelang akhir tahun kami masih tidak ada rencana untuk merayakan tahun baru di mana dan bagaimana. Bahkan, kami tidak berpikir bakal merayakan tahun baru.

Suatu malam seperti malam biasanya kami duduk bersama di ruang tamu dan bermain kartu capsa hingga larut malam. Di tengah permainan terdengar teriakan dari pacar Stevie yang bernama Oktavia, "Tahun baru ke Pulau Harapan yuk?" Sontak permainan kartu langsung berhenti menjadi pembahasan rencana tahun baru.

"Berapa harganya?" tanya saya.

"Sekitar 450 ribu,” sahut Okta. Berhubung saya tidak pernah ke sana, maka saya bertanya lebih lanjut kepada Okta, "Tinggalnya di mana? Hotel?"

Okta pun menjawab, "nanti kita tinggal bareng di satu cottage."

"Wahhh mewah dan murah dong," sahut saya. Dan Okta pun menjelaskan harga tersebut sudah termasuk makan sebanyak 3 kali dan transportasi. Kami pun tertarik dengan rencana yang diajukan Okta.

Sembari menunggu Okta yang sedang menelpon penjual paket tur tersebut saya googling apa dan bagaimana Pulau Harapan itu. Saya ketik "cottage pulau harapan" di kolom pencarian google. Muncul lah cottage-cottage mewah yang sekarang saya baru tahu kalau itu berada di Pulau Macan.

Hari-hari berlalu, tak terasa sudah tanggal 31 Desember, kami bangun subuh untuk antre mandi. Maklum kamar mandi kami cuma satu. Saya apes mendapat giliran mandi setelah Stevie karena kebetulan dia mandi sekalian buang air besar. Ketika giliran mandi saya tiba, keadaan memaksa saya untuk menghirup aroma busuk binatang-binatang yang semalam dia konsumsi. Apes.

Kami berangkat ke Muara Angke menggunakan dua unit taksi. Perjalanan dimulai dengan jalan yang lapang. Sesampai di daerah Muara Angketerjadi kemacetan yang sangat panjang yang memaksa kami untuk berjalan kaki sepanjang kurang lebih 300 meter menuju lokasi pemberangkatan.

[caption id="attachment_1101" align="aligncenter" width="689"] gerbang muara angke, foto: Indoplaces.com[/caption]

Saya terkejut karena ternyata pelabuhan tersebut sekaligus pasar ikan dan semalam terjadi banjir di sana. Kubangan-kubangan banjir dan bau amis ikan bercampur menjadi satu. Kubangan tersebut setinggi betis saya. Baunya tidak bisa saya ungkapkan. Mungkin kalau anda menyelupkan singkong ke dalam air kubangan itu singkongnya langsung berubah jadi tape. Damn! Air kubangan itu pun bercipratan hingga ke kaos saya.

[caption id="attachment_1102" align="aligncenter" width="676"] pedagang ikan di muara angke, foto: TripAdvisor[/caption]

Saya ngedumel ke Stevie, "Pi, muambu, Pi. Kebacut ambune koyok sapiteng!" yang artinya, "Pi, bau, keterlaluan seperti septic tank."

Stevie pun menjawab enteng, "Gakpopo, kene lanang kudu kuat.” Artinya, tidak apa apa kita cowo harus kuat. Sialan. Hahaha. Tapi ternyata kata-kata Stevie membuat saya bersemangat lagi.

Tibalah di tempat keberangkatan dan saya melihat kapal yang akan kami gunakan untuk ke Pulau Harapan. Kapalnya ternyata sehari-hari difungsikan untuk mengangkut sayur-mayur dan binatang-binatang entah ayam, ikan, atau dinosaurus. Dan kami harus melompati beberapa perahu untuk sampai ke perahu kami. Hebatnya nenek-nenek pun harus melalui proses itu.

[caption id="attachment_1103" align="aligncenter" width="684"] proses menuju kapal, foto: m.tempo.co[/caption]

Saya lalu melompati satu per satu perahu tersebut dengan keterampilan skill ninja saya. Dan tiba di kapal saya tidak bisa melihat bentuk kapalnya karena terlalu banyak manusia di kapal itu. Serius… banyak sekali manusianya hingga gerak pun susah. Saya jadi malas menghitungnya.

[caption id="attachment_1104" align="aligncenter" width="800"] para manusia sedang melompat kapal satu ke kapal lainnya, foto: Okezone News[/caption]

Terus saya masuk ke bagian bawah kapal. Dan di bawah kapal lebih banyak orang lagi. Rontok hati saya melihat kondisi kapal seperti ini dan harus berada tiga jam dalam keadaan seperti ini.

[caption id="attachment_1105" align="aligncenter" width="710"] kondisi di dalam kapal (bayangkan anda di situ), foto: Kompas Print[/caption]

Kapal pun berangkat. Kami duduk di bagian belakang kapal beralaskan kardus air mineral. Saya duduk termenung berharap untuk segera sampai di Pulau Harapan.

Bersambung.....

Andhika Swarna Limantara, traveltoday